الحمد لله وكفى، والصلاة والسلام على عبد الله ورسوله المصطفى، وعلى آله وصحبه ومن اكتفى، أما بعد
Setiap muslim yang sejati dan peduli dengan din-nya tentu akan mendambakan tersebarnya tuntunan-tuntunan agama yang dianutnya pada masyarakat sekitarnya, ia menginginkan orang lain juga mengetahui apa yang dipelajarinya, karena ia tahu bahwa “belum sempurna iman seseorang sehingga ia mencintai (kebaikan) untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai (kebaikan) untuk dirinya sendiri” [1]
Tapi dengan jalan apa ia bisa mewujudkan keinginan itu?
Mungkin ada yang menjawab: Ya… gampang saja! dengan ceramah keliling, atau khutbah di masjid-masjid, atau jadi da’i terbang, atau jadi dosen di kampus-kampus terkemuka, kita bisa menyampaikan semuanya kepada masyarakat!
Memang kelihatannya sederhana, tapi masalahnya apakah masyarakat akan dengan mudah tertarik dengan apa yang kita dakwahkan? Apakah mereka sudi menghadiri dan mendengarkan ceramah kita? Bisa jadi sudah kering tenggorokan kita, tapi belum juga kita menuai hasil yang diinginkan!
Sesungguhnya yang lebih penting adalah bagaimana kita mengambil hati mereka? sehingga nantinya mereka akan dengan senang hati dan lapang dada menerima dakwah kita.
Untuk tujuan inilah kita harus mengerti cara bermualah yang baik, kita butuh memperkuat tali persaudaraan islam dan menghidupkan kembali ruh iman di setiap sanubari, kita membutuhkan budaya tukar pendapat yang tenang dan damai, hubungan yang serasi, dan saling menghormati satu sama lain, sehingga akan terpancar jelas keindahan dan keanggunan Islam dalam masyarakat kita, dan mereka akan menjadi teladan bagi masyarakat lain yang seakidah, bahkan akan menjadi pembuka kebaikan bagi mereka yang berada di luar Islam untuk masuk gerbang agama tauhid ini.
Kita ingin mengambil hati orang di sekitar kita, tapi bukan dengan mujamalah ataupun dengan mudahanah, bukan pula dengan reformasi agama atau malah meruntuhkannya, tapi kita ingin mengambil hati mereka dengan akhlak yang tinggi dan adab yang mulia, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”[2]
Kenapa kita harus mengambil hati? Tentunya bukan karena tujuan harta dan gemerlapnya dunia, bukan pula untuk kepentingan pribadi ataupun memamerkan kelebihan yang ada pada kita, kita melakukannya karena niat ibadah mendekatkan diri kita kepada Allah, dzat yang senang dengan akhlak yang mulia dan membenci akhlak yang tercela.
Kita melakukannya karena dorongan ingin mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam sebagai orang yang paling mulia akhlaknya.
Kita melakukannya karena kita ingin meraih kecintaan Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam, tidak hanya itu, bahkan kita akan berada dekat dengan beliau kelak di akhirat, sebagaimana sabdanya: “sesungguhnya diantara orang yang paling aku cintai dan paling dekat denganku di hari kiamat nanti adalah mereka yang paling bagus akhlaknya”[3]
Kita melakukannya karena ingin mengaplikasikan tuntunan syari’at dan budi pekerti agama ini dalam kehidupan kita, baik dalam tindakan maupun ucapan, baik ketika sendiri maupun di hadapan orang, sebagaimana sabdanya: “Pergaulilah orang lain dengan akhlak yang terpuji!”.[4]
Kita melakukannya karena kerinduan kita kepada surga, tentunya kita tidak akan lupa dengan sabdanya: “Sesuatu yang paling banyak memasukkan orang ke surga adalah taqwa dan akhlak yang mulia”.[5]
Kita melakukannya karena ingin menambah berat timbangan amal kita, karena: “Tidak ada sesuatupun yang lebih berat timbangannya dari pada akhlak yang mulia” [6]
Kita melakukannya agar orang lain bersahabat dengan kita, tidak lari meninggalkan kita: “Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu”.[7]
Inilah beberapa keutamaan dan buah akhlak yang mulia, yang insyaAllah dapat menjadi pendorong dan motivator kita untuk menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat, ia merupakan sebuah ibadah yang agung dan sarana mendekatkan diri kepada Allah ـ: “Sungguh berbekal akhlak yang mulia, seorang mukmin akan mencapai derajat orang yang selalu berpuasa (pada siangnya) dan selalu menghidupkan malamnya”.[8]
Memang sangat agung kedudukan akhlak dalam Islam, oleh karenanya Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda: “Akhlak yang mulia adalah kebaikan yang paling agung”.[9] Tapi bagaimana kita dapat meraih akhlak yang mulia itu? Tentunya kita harus tahu dulu mana yang baik dan mana yang buruk, diantara caranya adalah: dengan banyak bergaul dengan orang-orang sholih, memperhatikan gerak langkah dan akhlak mereka. dan dengan banyak membaca buku-buku tentang adab dan mengkajinya[10].
Setelah kita tahu mana yang baik dan mana yang buruk, maka kita harus memperaktekkannya, dan setelah itu mengajak orang lain untuk ikut serta melakukan dan memperaktekkannya.
Apakah cukup dengan itu semua? Tentunya tidak, karena ada satu hal lagi yang tak kalah penting, yaitu dengan banyak do’a dan bersimpuh di hadapan Sang Pencipta sebagaimana dituntunkan oleh teladan kita Nabi Muhammad -shollallohu alaihi wasallam-, dengan doanya:
اللهم كما أحسنت خلقي فأحسن خلقي[11]ـ
اللهم إني أعوذ بك من منكرات الأخلاق والأعمال والأهواء[12]ـ
اللهم اهدني لأحسن الأخلاق لا يهدي لأحسنها إلا أنت, واصرف عني سيئها لا يصرف عني سيئها إلا أنت.[13]ـ
Subhanallah, kalau orang seperti Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam saja selalu berdoa agar dibaguskan akhlaknya padahal Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah jelas-jelas memujinya dalam firmaNya “Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”[14], bagaimana halnya dengan kita? Sungguh sudah seharusnya kita lebih rajin dan giat melantunkan doa-doa tersebut.
Akidah & Akhlak
Tidak bisa dipungkiri, bahwa akhlak punya hubungan yang kuat dengan keimanan dan akidah seseorang, ibnul qoyyim rohimahullah berkata: “Seluruh agama ini adalah akhlak, maka siapa yang lebih tinggi akhlaknya berarti ia lebih tinggi agamanya”[15].
Orang yang memperhatikan dengan seksama keadaan masyarakat muslim, ia akan dapati banyak dari mereka yang lalai terhadap pentingnya masalah akhlak dan memanfaatkan sisi ini sebagai sarana ibadah, mereka tidak menyadari bahwa akhlak sangat erat hubungannya dengan keimanan. Maka jangan heran kita akan dapati orang yang mengira dirinya telah mempraktekkan tauhid dan memurnikan keimanannya, tapi tetap saja melakukan tindakan-tindakan tercela yang dapat mengganggu nilai keimanannya, seperti: takabur, hasad, berburuk-sangka, dusta, berbuat keji, egois, dsb.
Bahkan bisa jadi dia tidak tahu bahwa perbuatan tersebut sangat berpengaruh buruk terhadap akidah dan keimanannya, atau lalai bahwa agama ini mencakup seluruh sendi-sendi kehidupan, sebagaimana firmanNya: “Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan Aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”[16].
Sesungguhnya usaha merealisasikan tauhid dan menyempurnakan keimanan tidak hanya sebatas dengan menjauhi syirik akbar, tapi juga dengan menjauhi segala yang mencemari tauhid dan keimanan, dengan menjauhi segala amalan tercela dan memperaktekkan akhlak yang mulia. Jadi akidah bukanlah sekedar manuskrip yang hanya dibaca dan dihapal, tapi ia harus diwujudkan dalam kehidupan nyata, dalam pergaulan dengan masyarakat di sekeliling kita.
Da’i-da’i tanpa kata
Sejarah mengisahkan, Islam masuk hindia selatan, silan, kepulauan maldif, pesisir cina, filipina, indonesia, dan afrika melalui pedagang muslim yang militan, mereka mempengaruhi warga pribumi bukan dengan kilauan dinar dan dirham, tapi karena islam yang telah menjelma dalam gerak langkah mereka, disamping juga sifat amanah dan sifat jujur mereka yang mengagumkan. Mereka warga pribumi takjub dengan akhlak ini, dan terdorong untuk mencari tahu asal-muasalnya. Ketika mereka tahu bahwa itu semua bersumber dari tuntunan Islam, akhirnya mereka bersedia memeluk agama Islam dengan sukarela dan hati yang lapang.
Memang, metode paling handal dalam mengambil hati orang adalah dengan akhlak yang mulia, bahkan tidak dipungkiri lagi inilah sarana yang memegang peranan paling penting bagi tersebarnya agama Islam di seluruh penjuru dunia.
Orang yang memperhatikan dengan seksama kisah perjalanan Nabi Muhammad -shollallohu alaihi wasallam- akan mendapati bahwa beliau adalah sosok yang tidak pernah lepas dari akhlak yang mulia dalam semua gerak langkahnya, khususnya dalam hal berdakwah, sehingga dengan mudah orang berbondong-bondong menerima dakwahnya.
Berapa banyak orang masuk islam karena kemuliaan akhlaknya, ada yang masuk islam seraya mengatakan: “Demi Allah! mulanya tidak ada di muka bumi ini wajah yang lebih kubenci dari engkau, tapi sekarang engkau menjadi orang yang paling aku cintai melebihi siapapun!”[17]
Ada juga yang mengatakan: “Ya Allah! Curahkanlah rahmatMu kepadaku dan Muhammad, dan jangan kau sertakan dengan kami siapapun juga!”[18] karena saking terpesonanya dengan akhlak pemaaf Nabi -shollallohu alaihi wasallam-.
Ada lagi yang berkomentar: “Sungguh aku rela mengorbankan ibu bapakku demi dia, belum pernah ku jumpai guru yang lebih baik dari dia, baik sebelum maupun sepeninggalnya!”[19].
Ada juga yang menyerukan: “wahai kaumku, masuklah ke dalam Islam, karena sesungguhnya Muhammad itu memberi seakan ia tak khawatir akan menjadi fakir (karena kehabisan harta)!”[20] dan sangat banyak contoh-contoh yang serupa dalam siroh Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam.
Semoga Allah merahmati Ibnu Ashma’, yg ketika ajal akan menjemputnya ia mengumpulkan anak-anaknya dan berwasiat: “Wahai anak-anakku! Pergaulilah masyarakat dengan pergaulan yang apabila kalian hidup, mereka akan simpati kepadamu, dan apabila kalian mati, mereka akan menangisi kepergianmu!”[21]
Dan sungguh indah perkataan Abdulloh bin Mubarok: “Kalian lebih membutuhkan akhlak walaupun hanya sedikit, dari pada ilmu yang banyak (tapi tidak diamalkan, pen)”[22]
Merubah akhlak kita
Mungkin sebagian dari kita mengatakan: “aku sudah terlanjur dengan akhlak yang buruk sejak kecil, mana mungkin aku bisa merubahnya?!” atau mengatakan bahwa akhlak adalah tabi’at tetap manusia yang tidak mungkin dapat dirubah! atau berpendapat bahwa akhlak akan dengan mudah dibentuk dan dirubah, tergantung keinginan individu masing-masing.
Ketahuilah! bahwa akhlak (tingkah laku) terbagi menjadi dua: ada yang alami (bawaan lahir), dan ada juga yang iktisabi (yang dibentuk oleh manusia melalui belajar, latihan, dan usaha).
Seandainya akhlak tidak dapat dirubah sama sekali, maka apalah gunanya pesan dan nasehat diberikan? apalah tujuan firman Allah: “Sungguh beruntunglah orang yang membersihkan diri”[23] juga firmanNya “Sungguh beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu”[24]? dan apalah makna dari sabda Rasul -shollallohu alaihi wasallam-: “sesungguhnya ilmu (didapat) dengan belajar, sedang sifat murah hati (didapat) dengan melatih diri. Barangsiapa berusaha mencari kebaikan, ia akan mendapatkannya, dan barangsiapa berusaha menghindar dari kejelekan, ia akan selamat darinya”[25]?!
Orang yang memperhatikan kebiasaan binatang sirkus sebelum dan sesudah dilatih, ia akan menemukan hakekat bahwa akhlak (tingkah laku) pada manusia merupakan hal yang dapat menerima perubahan, tentunya perubahan tersebut juga berbanding lurus dengan usaha dan kesungguhannya melatih diri untuk berakhlak mulia.
Panah-panah sakti penakluk hati
Kiranya akan semakin lengkap jika kita sebutkan beberapa akhlak terpuji yang punya pengaruh kuat untuk mengambil hati orang-orang yang ada di sekitar kita:
1. Senyuman ramah.
Ia bagai garam pada masakan, ia juga merupakan busur yang paling cepat menaklukkan hati seseorang, ditambah lagi ia merupakan ibadah dan amal sedekah, sebagaimana sabdanya “Senyuman yang kau lemparkan ke wajah saudaramu adalah amal sedekah”[26].
Sahabat abdullah bin harits berkata: “Aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih banyak tersenyum melebihi Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam“[27]
2. Memulai salam.
Ia adalah panah tajam yang akan menancap di hati orang yang kau salami, tapi jangan lupa barengi juga dengan wajah damai, jabat tangan serta sambutan yang hangat dan akrab.
Dengannya kita juga mendapatkan pahala sekaligus ghonimah karena: “Yang paling baik dari keduanya adalah orang yang memulai dengan salam”[28]. Berkata Abu Amr an nadby: “Aku pernah berjalan bersama Abdullah bin Umar, maka setiap berjumpa dengan orang ia langsung memberi salam, tak peduli orang tersebut masih kecil ataupun sudah berumur”.[29]
3. Hadiah.
Ia memiliki pengaruh yang mengagumkan, karena bersentuhan langsung dengan pendengaran, penglihatan dan perasaan hati. Karenanya Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam memberi perhatian khusus dalam masalah ini dalam sabdanya: “Hendaklah kalian saling bertukar hadiah! niscaya kalian akan saling mencintai[30]“
4. Jadilah pendengar yang baik!
Dengan tidak memotong pembicaraan yang belum tuntas, inilah akhlak Rosul ع, beliau tidak memotong pembicaraan sehingga lawan bicaranya mengakhiri kalamnya. Sungguh barangsiapa yang memperaktekkan ini, ia akan dikagumi oleh banyak orang, lain halnya dengan orang yang banyak ngoceh dan sering memotong pembicaraan orang lain.
Atho’ menceritakan dirinya berkaitan dengan sifat ini: “Adakalanya seorang bercerita kepadaku dan aku diam mendengarkannya, seakan aku tidak pernah mendengarnya, padahal sebenarnya aku telah mendengar cerita itu jauh hari sebelum ia dilahirkan.”[31]
5. Ulurkan bantuan dan jasa baikmu!
Pepatah mengatakan: “Berbuat baiklah kepada orang lain! maka kamu akan mendapatkan hatinya sebagai tawananmu”.
Membantu orang lain juga merupakan sarana menggapai mahabbatullah, sebagaimana firmanNya: “berbuat baiklah (kepada orang lain), Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” [32]. Begitu pula sabda Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam-: “Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling banyak memberikan manfaat kepada manusia”[33].
Ahibbati fillah! Sungguh mengherankan orang yang rela membeli hamba sahaya dengan uang, apa yang menghalangi mereka untuk membeli orang merdeka dengan jasa baiknya?! Dan ingatlah orang yang banyak jasanya, akan banyak pula sahabatnya!
6. Penampilan yang baik.
Ini meliputi badan, pakaian dan bau yang harum, Rosulullah ع bersabda: “Sesungguhnya Allah itu baik, menyukai sesuatu yang baik”[34].
Simak juga ketika Abdul Malik bin Abdul Hamid almaimuni mensifati Imam Ahmad: “Sungguh aku tidak melihat ada orang yang lebih perhatian dengan kumisnya, rambut kepala dan tubuhnya serta tidak kulihat orang yang pakaiannya lebih bersih dan putih melebihi Ahmad bin Hambal.”[35]
7. Berbaik-sangka dan memberikan udzur.
Hendaklah kita saling berbaik sangka dengan saudara-saudara seiman kita, selagi masih ada celah untuk itu, dan kalaupun ia memang telah melakukan kesalahan hendaklah kita menasehatinya dengan cara yang halus dan selanjutnya memberikan udzur yang pantas baginya, insyaAllah dengan begitu akan semakin kuat barisan umat ini.
8. Ungkapkan kecintaanmu kepada saudaramu!
Ketika anda menaruh rasa simpati kepada orang lain atau mungkin ia mendapat tempat tersendiri di hati anda, maka ungkapkanlah perasaan itu kepadanya, karena itu akan meluluhkan hatinya, oleh karenanya Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Apabila ada yang menyukai sahabatnya, maka hendaklah ia datang ke rumahnya dan mengatakan bahwa dirinya menyukainya karena Allah swt![36] Dalam riwayat yang lain “Karena itu akan lebih mempererat tali persahabatan dan lebih menguatkan rasa kasih sayang antar keduanya”.[37]
Tapi tentunya dengan syarat, rasa kasih sayang tersebut karena Allah semata, bukan karena dunia, jabatan, harta, ketenaran, kecantikan atau ketampanan, karena setiap kecintaan yang dasarnya bukan lillahi ta’ala itu bagaikan debu, ia akan lenyap atau malah berbalik menjadi permusuhan kelak pada hari kiamat, sebagaimana firman-Nya: “Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa”.[38]
Hendaknya pula kita selalu menghadirkan dalam sanubari kita sabda Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam: “Setiap orang akan bersama orang yang dicintainya (pada hari kiamat)”.[39]
Intinya mengungkapkan rasa cinta & kasih sayang adalah merupakan cara yang sangat manjur untuk mempengaruhi hati seseorang dan menjadikan timbulnya rasa saling mencintai satu sama lain. Dengan ini akan terbentuklah sebuah masyarakat yang dipenuhi rasa cinta, damai, masyarakat yang bersatu, kompak dan saling membantu.
Ahibbati fillah… dalam soal perasaan, emosi dan ‘atifah, kebanyakan orang berada pada dua kutub yang berlawanan, sungguh amat disayangkan! Ada yang mendewakan akalnya, sehingga hubungan itu menjadi kaku, kering dan tidak bersahabat. Disisi lain ada yang mendewakan perasaan dan emosinya, sehingga seringkali mengorbankan rasionalitas, bahkan tidak jarang sampai pada tingkatan ketergantungan dengan orang lain.
Memang memadukan dan mengkompromikan antara akal dan perasaan adalah pekerjaan yang susah, tidak semua orang bisa menuntaskannya, tapi itu merupakan fadhal (keistimewaan) yang Allah berikan kepada siapa yang dikehendakinya.
9. Al-mudaarooh
Haruskah kita menggunakan metode ini untuk menundukkan hati? Apakah ia sama dengan mudahanah? Apa definisi yang benar dari keduanya?
Dalam menghadapi banyak orang, kita akan menemukan berbagai macam karakter individu yang berbeda, dan tentunya kita harus dapat mensiasati kenyataan ini, kita harus segera mencari cara untuk mengkompromikan karakter-karakter yang berseberangan ini, agar terjalin hubungan yang harmonis antara individu satu dengan yang lainnya.
Keadaan ini menuntut kita untuk memiliki cara bagaimana menghadapi setiap karakter individu yang berbeda, diantaranya adalah dengan mudaarooh, yaitu mengorbankan dunia untuk mendapatkan keuntungan duniawi ataupun ukhrowi ataupun keduanya, seperti berlaku lemah lembut, bertutur secara halus dan menampakkan wajah yang bersahabat kepada para fussaq beserta cs-nya, dengan tujuan, pertama: agar kita terhindar dari gangguan mereka, dan kedua: mungkin dengan mudaarooh seperti ini hati mereka akan terbuka, dan menjadi sebab kembalinya mereka ke jalan yang lurus (tentunya dengan syarat mudaarooh ini bersih dari basa-basi dalam masalah agama).
Sedangkan mudaahanah adalah mengorbankan agama demi mendapatkan keuntungan duniawi[40], misalnya dengan mengobral fatwa-fatwa “murahan” untuk mendapatkan jabatan, agar dekat dengan orang penting, agar mendapatkan harta yang fana, ataupun tujuan yang sejenisnya! nas’alullohas salaamata wal ‘aafiah.
Yang penting untuk diingat di sini adalah bahwa hukum asal dari mudaarooh adalah mubah, ia bisa menjadi mustahab bahkan wajib, namun bisa juga menjadi makruh bahkan menjadi haram! Tergantung timbangan maslahat dan mafsadatnya, baik untuk diri si pelaku ataupun untuk masyarakat yang selalu memperhatikan setiap gerak-gerik seorang dai, jadi sangat diperlukan pertimbangan maslahat dan mafsadah yang matang sebelum kita memperaktekkan langkah ini, wallahu a’lam.
Inilah beberapa contoh akhlak mulia, yang insyaallah akan membantu kesuksesan seorang da’i dalam mengemban misinya membumikan ajaran Ilahi yang mulia ini, semoga kita selalu dalam naungan nikmat, rahmat dan taufiqNya, sehingga kita dapat meraih kesuksesan dunia dan akhirat dalam mengemban amanat besar ini.
وصلى الله وسلم وبارك على عبد الله ورسوله نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين
وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Disarikan dari tulisan syeikh Ad Duwaisy yang berjudul “Thorīqunā ilal qulūb”
[1] Muttafaqun alaih (Bukhari hadits no 12, Muslim hadits no 64)
[2] Mustadrokul Hakim hadits no 4221, dishohihkan oleh Imam Alhakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi, begitu juga syeikh albani (silsilah shohihah hadits no 45)
[3] HR. Attirmidzi hadits no 1941, ia mengatakan hadits ini hasan ghorib, dan dihasankan pula oleh syeikh albani (silsilah shohihah hadits no 791)
[4] HR. Attirmidzi hadits no, ia berkomentar hadits ini hasan shohih, begitu juga syeikh albani meng-hasan-kannya (shohih targhib wat tarhib hadits no 3160)
[5] HR. Attirmidzi hadits no 1927, ia berkomentar hadits ini shohih ghorib, dan di-hasan-kan pula oleh syeikh Albani (silsilah shohihah hadits no 977)
[6] HR. Abu dawud hadits no 4166 dan Attirmidzi hadits no 1925, ia berkomentar hadits ini hasan shohih, di-shohih-kan juga oleh syeikh Albani (shohih targhib wat tarhib hadits no 2641)
[7] Ali Imron ayat 159
[8] HR. Abu Dawud hadits no 4265, di-hasan-kan oleh syeikh Albani (silsilah shohihah hadits no 794)
[9] HR. Muslim hadits no 4632
[10] Seperti misalnya: kitab adabul mufrod karya Imam Bukhori, Makarimul Akhlaq karya Ibnu Abid Dunya, kitab-kitab syama’il yang menceritakan sifat-sifat dan akhlak nabi ع, dll.
[11] HR. Ahmad, hadits no 3632, di-shohih-kan oleh syeikh albani (shohih targhib wat tarhib, hadits no 2657)
[12] HR. Tirmidzi, hadits no 3515, dishohihkan oleh syeikh Albani (misykatul mashobih, hadits no 2471)
[13] HR. Muslim, hadits no 1290
[14] Surat Al-qolam ayat 4
[15] Madarijus Salikin 2/307
[16] Surat Al-An’am ayat 162-163
[17] Muttafaqun alaih, Bukhori hadits no 4024, Muslim hadits no 3310
[18] HR. Bukhori, hadits no 5551
[19] HR. Muslim, hadits no 836
[20] HR. Ahmad, hadits no 12328, dishohihkan oleh Syu’aib al-arna’uth
[21] Nurul Qobas karya abul mahasin al yaghmury, hal 46
[22] Mukhtashor tarikh dimasyq karya Ibnu Mandhur, hal 1884
[23] Surat Al-A’la ayat 14
[24] Surat Asy-Syams ayat 9
[25] HR. Thobaroni fil mu’jamil kabir, hadits no 1763, dihasankan oleh syeikh Albani (silsilah shohihah no 342)
[26] HR. Tirmidzi, hadits no 1879, dihasankan oleh syeikh Albani (silsilah shohihah hadits no 572)
[27] HR. Tirmidzi, hadits no 3574, dishohihkan oleh syeikh Albani (mukhtashorusy syama’il, hadits no 194)
[28] Muttafaqun Alaih (Bukhori hadits no 5613, Muslim hadits no 4643)
[29] Mushonnaf Abdur Rozzaq, atsar no 19442
[30] HR. Bukhori fil adabil mufrod, dihasankan oleh syeikh Albani (Irwa’ul Gholil, hadits no 1601)
[31] Aljami’ li akhlaqir rowi wa adabis sami’, karangan Alkhotib albaghdadi, atsar no 352)
[32] Surat Albaqoroh, ayat 195.
[33] HR. Thobaroni, hadits no 13646, dihasankan oleh syeikh Albani (silsilah shohihah, hadits no 906)
[34] HR. Muslim, hadits no 131.
[35] Shifatush Shofwah 2/340
[36] HR. Ahmad, hadits no 20332 (lihat silsilah shohihah, hadits no 417)
[37] Tambahan hadits ini dihasankan oleh syeikh Albani (shohihul jami’, hadits no 280)
[38] Surat Azzukhruf, ayat 67.
[39] Muttafaqun Alaihi (shohih bukhori, hadits no 5702, shohih muslim, hadits no 4779)
[40] Almufhim karya Alqurthuby 9/338, fathul Bari karya Ibnu Hajar hal: 13/581
Setiap muslim yang sejati dan peduli dengan din-nya tentu akan mendambakan tersebarnya tuntunan-tuntunan agama yang dianutnya pada masyarakat sekitarnya, ia menginginkan orang lain juga mengetahui apa yang dipelajarinya, karena ia tahu bahwa “belum sempurna iman seseorang sehingga ia mencintai (kebaikan) untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai (kebaikan) untuk dirinya sendiri” [1]
Tapi dengan jalan apa ia bisa mewujudkan keinginan itu?
Mungkin ada yang menjawab: Ya… gampang saja! dengan ceramah keliling, atau khutbah di masjid-masjid, atau jadi da’i terbang, atau jadi dosen di kampus-kampus terkemuka, kita bisa menyampaikan semuanya kepada masyarakat!
Memang kelihatannya sederhana, tapi masalahnya apakah masyarakat akan dengan mudah tertarik dengan apa yang kita dakwahkan? Apakah mereka sudi menghadiri dan mendengarkan ceramah kita? Bisa jadi sudah kering tenggorokan kita, tapi belum juga kita menuai hasil yang diinginkan!
Sesungguhnya yang lebih penting adalah bagaimana kita mengambil hati mereka? sehingga nantinya mereka akan dengan senang hati dan lapang dada menerima dakwah kita.
Untuk tujuan inilah kita harus mengerti cara bermualah yang baik, kita butuh memperkuat tali persaudaraan islam dan menghidupkan kembali ruh iman di setiap sanubari, kita membutuhkan budaya tukar pendapat yang tenang dan damai, hubungan yang serasi, dan saling menghormati satu sama lain, sehingga akan terpancar jelas keindahan dan keanggunan Islam dalam masyarakat kita, dan mereka akan menjadi teladan bagi masyarakat lain yang seakidah, bahkan akan menjadi pembuka kebaikan bagi mereka yang berada di luar Islam untuk masuk gerbang agama tauhid ini.
Kita ingin mengambil hati orang di sekitar kita, tapi bukan dengan mujamalah ataupun dengan mudahanah, bukan pula dengan reformasi agama atau malah meruntuhkannya, tapi kita ingin mengambil hati mereka dengan akhlak yang tinggi dan adab yang mulia, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”[2]
Kenapa kita harus mengambil hati? Tentunya bukan karena tujuan harta dan gemerlapnya dunia, bukan pula untuk kepentingan pribadi ataupun memamerkan kelebihan yang ada pada kita, kita melakukannya karena niat ibadah mendekatkan diri kita kepada Allah, dzat yang senang dengan akhlak yang mulia dan membenci akhlak yang tercela.
Kita melakukannya karena dorongan ingin mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam sebagai orang yang paling mulia akhlaknya.
Kita melakukannya karena kita ingin meraih kecintaan Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam, tidak hanya itu, bahkan kita akan berada dekat dengan beliau kelak di akhirat, sebagaimana sabdanya: “sesungguhnya diantara orang yang paling aku cintai dan paling dekat denganku di hari kiamat nanti adalah mereka yang paling bagus akhlaknya”[3]
Kita melakukannya karena ingin mengaplikasikan tuntunan syari’at dan budi pekerti agama ini dalam kehidupan kita, baik dalam tindakan maupun ucapan, baik ketika sendiri maupun di hadapan orang, sebagaimana sabdanya: “Pergaulilah orang lain dengan akhlak yang terpuji!”.[4]
Kita melakukannya karena kerinduan kita kepada surga, tentunya kita tidak akan lupa dengan sabdanya: “Sesuatu yang paling banyak memasukkan orang ke surga adalah taqwa dan akhlak yang mulia”.[5]
Kita melakukannya karena ingin menambah berat timbangan amal kita, karena: “Tidak ada sesuatupun yang lebih berat timbangannya dari pada akhlak yang mulia” [6]
Kita melakukannya agar orang lain bersahabat dengan kita, tidak lari meninggalkan kita: “Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu”.[7]
Inilah beberapa keutamaan dan buah akhlak yang mulia, yang insyaAllah dapat menjadi pendorong dan motivator kita untuk menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat, ia merupakan sebuah ibadah yang agung dan sarana mendekatkan diri kepada Allah ـ: “Sungguh berbekal akhlak yang mulia, seorang mukmin akan mencapai derajat orang yang selalu berpuasa (pada siangnya) dan selalu menghidupkan malamnya”.[8]
Memang sangat agung kedudukan akhlak dalam Islam, oleh karenanya Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda: “Akhlak yang mulia adalah kebaikan yang paling agung”.[9] Tapi bagaimana kita dapat meraih akhlak yang mulia itu? Tentunya kita harus tahu dulu mana yang baik dan mana yang buruk, diantara caranya adalah: dengan banyak bergaul dengan orang-orang sholih, memperhatikan gerak langkah dan akhlak mereka. dan dengan banyak membaca buku-buku tentang adab dan mengkajinya[10].
Setelah kita tahu mana yang baik dan mana yang buruk, maka kita harus memperaktekkannya, dan setelah itu mengajak orang lain untuk ikut serta melakukan dan memperaktekkannya.
Apakah cukup dengan itu semua? Tentunya tidak, karena ada satu hal lagi yang tak kalah penting, yaitu dengan banyak do’a dan bersimpuh di hadapan Sang Pencipta sebagaimana dituntunkan oleh teladan kita Nabi Muhammad -shollallohu alaihi wasallam-, dengan doanya:
اللهم كما أحسنت خلقي فأحسن خلقي[11]ـ
اللهم إني أعوذ بك من منكرات الأخلاق والأعمال والأهواء[12]ـ
اللهم اهدني لأحسن الأخلاق لا يهدي لأحسنها إلا أنت, واصرف عني سيئها لا يصرف عني سيئها إلا أنت.[13]ـ
Subhanallah, kalau orang seperti Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam saja selalu berdoa agar dibaguskan akhlaknya padahal Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah jelas-jelas memujinya dalam firmaNya “Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”[14], bagaimana halnya dengan kita? Sungguh sudah seharusnya kita lebih rajin dan giat melantunkan doa-doa tersebut.
Akidah & Akhlak
Tidak bisa dipungkiri, bahwa akhlak punya hubungan yang kuat dengan keimanan dan akidah seseorang, ibnul qoyyim rohimahullah berkata: “Seluruh agama ini adalah akhlak, maka siapa yang lebih tinggi akhlaknya berarti ia lebih tinggi agamanya”[15].
Orang yang memperhatikan dengan seksama keadaan masyarakat muslim, ia akan dapati banyak dari mereka yang lalai terhadap pentingnya masalah akhlak dan memanfaatkan sisi ini sebagai sarana ibadah, mereka tidak menyadari bahwa akhlak sangat erat hubungannya dengan keimanan. Maka jangan heran kita akan dapati orang yang mengira dirinya telah mempraktekkan tauhid dan memurnikan keimanannya, tapi tetap saja melakukan tindakan-tindakan tercela yang dapat mengganggu nilai keimanannya, seperti: takabur, hasad, berburuk-sangka, dusta, berbuat keji, egois, dsb.
Bahkan bisa jadi dia tidak tahu bahwa perbuatan tersebut sangat berpengaruh buruk terhadap akidah dan keimanannya, atau lalai bahwa agama ini mencakup seluruh sendi-sendi kehidupan, sebagaimana firmanNya: “Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan Aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”[16].
Sesungguhnya usaha merealisasikan tauhid dan menyempurnakan keimanan tidak hanya sebatas dengan menjauhi syirik akbar, tapi juga dengan menjauhi segala yang mencemari tauhid dan keimanan, dengan menjauhi segala amalan tercela dan memperaktekkan akhlak yang mulia. Jadi akidah bukanlah sekedar manuskrip yang hanya dibaca dan dihapal, tapi ia harus diwujudkan dalam kehidupan nyata, dalam pergaulan dengan masyarakat di sekeliling kita.
Da’i-da’i tanpa kata
Sejarah mengisahkan, Islam masuk hindia selatan, silan, kepulauan maldif, pesisir cina, filipina, indonesia, dan afrika melalui pedagang muslim yang militan, mereka mempengaruhi warga pribumi bukan dengan kilauan dinar dan dirham, tapi karena islam yang telah menjelma dalam gerak langkah mereka, disamping juga sifat amanah dan sifat jujur mereka yang mengagumkan. Mereka warga pribumi takjub dengan akhlak ini, dan terdorong untuk mencari tahu asal-muasalnya. Ketika mereka tahu bahwa itu semua bersumber dari tuntunan Islam, akhirnya mereka bersedia memeluk agama Islam dengan sukarela dan hati yang lapang.
Memang, metode paling handal dalam mengambil hati orang adalah dengan akhlak yang mulia, bahkan tidak dipungkiri lagi inilah sarana yang memegang peranan paling penting bagi tersebarnya agama Islam di seluruh penjuru dunia.
Orang yang memperhatikan dengan seksama kisah perjalanan Nabi Muhammad -shollallohu alaihi wasallam- akan mendapati bahwa beliau adalah sosok yang tidak pernah lepas dari akhlak yang mulia dalam semua gerak langkahnya, khususnya dalam hal berdakwah, sehingga dengan mudah orang berbondong-bondong menerima dakwahnya.
Berapa banyak orang masuk islam karena kemuliaan akhlaknya, ada yang masuk islam seraya mengatakan: “Demi Allah! mulanya tidak ada di muka bumi ini wajah yang lebih kubenci dari engkau, tapi sekarang engkau menjadi orang yang paling aku cintai melebihi siapapun!”[17]
Ada juga yang mengatakan: “Ya Allah! Curahkanlah rahmatMu kepadaku dan Muhammad, dan jangan kau sertakan dengan kami siapapun juga!”[18] karena saking terpesonanya dengan akhlak pemaaf Nabi -shollallohu alaihi wasallam-.
Ada lagi yang berkomentar: “Sungguh aku rela mengorbankan ibu bapakku demi dia, belum pernah ku jumpai guru yang lebih baik dari dia, baik sebelum maupun sepeninggalnya!”[19].
Ada juga yang menyerukan: “wahai kaumku, masuklah ke dalam Islam, karena sesungguhnya Muhammad itu memberi seakan ia tak khawatir akan menjadi fakir (karena kehabisan harta)!”[20] dan sangat banyak contoh-contoh yang serupa dalam siroh Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam.
Semoga Allah merahmati Ibnu Ashma’, yg ketika ajal akan menjemputnya ia mengumpulkan anak-anaknya dan berwasiat: “Wahai anak-anakku! Pergaulilah masyarakat dengan pergaulan yang apabila kalian hidup, mereka akan simpati kepadamu, dan apabila kalian mati, mereka akan menangisi kepergianmu!”[21]
Dan sungguh indah perkataan Abdulloh bin Mubarok: “Kalian lebih membutuhkan akhlak walaupun hanya sedikit, dari pada ilmu yang banyak (tapi tidak diamalkan, pen)”[22]
Merubah akhlak kita
Mungkin sebagian dari kita mengatakan: “aku sudah terlanjur dengan akhlak yang buruk sejak kecil, mana mungkin aku bisa merubahnya?!” atau mengatakan bahwa akhlak adalah tabi’at tetap manusia yang tidak mungkin dapat dirubah! atau berpendapat bahwa akhlak akan dengan mudah dibentuk dan dirubah, tergantung keinginan individu masing-masing.
Ketahuilah! bahwa akhlak (tingkah laku) terbagi menjadi dua: ada yang alami (bawaan lahir), dan ada juga yang iktisabi (yang dibentuk oleh manusia melalui belajar, latihan, dan usaha).
Seandainya akhlak tidak dapat dirubah sama sekali, maka apalah gunanya pesan dan nasehat diberikan? apalah tujuan firman Allah: “Sungguh beruntunglah orang yang membersihkan diri”[23] juga firmanNya “Sungguh beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu”[24]? dan apalah makna dari sabda Rasul -shollallohu alaihi wasallam-: “sesungguhnya ilmu (didapat) dengan belajar, sedang sifat murah hati (didapat) dengan melatih diri. Barangsiapa berusaha mencari kebaikan, ia akan mendapatkannya, dan barangsiapa berusaha menghindar dari kejelekan, ia akan selamat darinya”[25]?!
Orang yang memperhatikan kebiasaan binatang sirkus sebelum dan sesudah dilatih, ia akan menemukan hakekat bahwa akhlak (tingkah laku) pada manusia merupakan hal yang dapat menerima perubahan, tentunya perubahan tersebut juga berbanding lurus dengan usaha dan kesungguhannya melatih diri untuk berakhlak mulia.
Panah-panah sakti penakluk hati
Kiranya akan semakin lengkap jika kita sebutkan beberapa akhlak terpuji yang punya pengaruh kuat untuk mengambil hati orang-orang yang ada di sekitar kita:
1. Senyuman ramah.
Ia bagai garam pada masakan, ia juga merupakan busur yang paling cepat menaklukkan hati seseorang, ditambah lagi ia merupakan ibadah dan amal sedekah, sebagaimana sabdanya “Senyuman yang kau lemparkan ke wajah saudaramu adalah amal sedekah”[26].
Sahabat abdullah bin harits berkata: “Aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih banyak tersenyum melebihi Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam“[27]
2. Memulai salam.
Ia adalah panah tajam yang akan menancap di hati orang yang kau salami, tapi jangan lupa barengi juga dengan wajah damai, jabat tangan serta sambutan yang hangat dan akrab.
Dengannya kita juga mendapatkan pahala sekaligus ghonimah karena: “Yang paling baik dari keduanya adalah orang yang memulai dengan salam”[28]. Berkata Abu Amr an nadby: “Aku pernah berjalan bersama Abdullah bin Umar, maka setiap berjumpa dengan orang ia langsung memberi salam, tak peduli orang tersebut masih kecil ataupun sudah berumur”.[29]
3. Hadiah.
Ia memiliki pengaruh yang mengagumkan, karena bersentuhan langsung dengan pendengaran, penglihatan dan perasaan hati. Karenanya Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam memberi perhatian khusus dalam masalah ini dalam sabdanya: “Hendaklah kalian saling bertukar hadiah! niscaya kalian akan saling mencintai[30]“
4. Jadilah pendengar yang baik!
Dengan tidak memotong pembicaraan yang belum tuntas, inilah akhlak Rosul ع, beliau tidak memotong pembicaraan sehingga lawan bicaranya mengakhiri kalamnya. Sungguh barangsiapa yang memperaktekkan ini, ia akan dikagumi oleh banyak orang, lain halnya dengan orang yang banyak ngoceh dan sering memotong pembicaraan orang lain.
Atho’ menceritakan dirinya berkaitan dengan sifat ini: “Adakalanya seorang bercerita kepadaku dan aku diam mendengarkannya, seakan aku tidak pernah mendengarnya, padahal sebenarnya aku telah mendengar cerita itu jauh hari sebelum ia dilahirkan.”[31]
5. Ulurkan bantuan dan jasa baikmu!
Pepatah mengatakan: “Berbuat baiklah kepada orang lain! maka kamu akan mendapatkan hatinya sebagai tawananmu”.
Membantu orang lain juga merupakan sarana menggapai mahabbatullah, sebagaimana firmanNya: “berbuat baiklah (kepada orang lain), Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” [32]. Begitu pula sabda Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam-: “Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling banyak memberikan manfaat kepada manusia”[33].
Ahibbati fillah! Sungguh mengherankan orang yang rela membeli hamba sahaya dengan uang, apa yang menghalangi mereka untuk membeli orang merdeka dengan jasa baiknya?! Dan ingatlah orang yang banyak jasanya, akan banyak pula sahabatnya!
6. Penampilan yang baik.
Ini meliputi badan, pakaian dan bau yang harum, Rosulullah ع bersabda: “Sesungguhnya Allah itu baik, menyukai sesuatu yang baik”[34].
Simak juga ketika Abdul Malik bin Abdul Hamid almaimuni mensifati Imam Ahmad: “Sungguh aku tidak melihat ada orang yang lebih perhatian dengan kumisnya, rambut kepala dan tubuhnya serta tidak kulihat orang yang pakaiannya lebih bersih dan putih melebihi Ahmad bin Hambal.”[35]
7. Berbaik-sangka dan memberikan udzur.
Hendaklah kita saling berbaik sangka dengan saudara-saudara seiman kita, selagi masih ada celah untuk itu, dan kalaupun ia memang telah melakukan kesalahan hendaklah kita menasehatinya dengan cara yang halus dan selanjutnya memberikan udzur yang pantas baginya, insyaAllah dengan begitu akan semakin kuat barisan umat ini.
8. Ungkapkan kecintaanmu kepada saudaramu!
Ketika anda menaruh rasa simpati kepada orang lain atau mungkin ia mendapat tempat tersendiri di hati anda, maka ungkapkanlah perasaan itu kepadanya, karena itu akan meluluhkan hatinya, oleh karenanya Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Apabila ada yang menyukai sahabatnya, maka hendaklah ia datang ke rumahnya dan mengatakan bahwa dirinya menyukainya karena Allah swt![36] Dalam riwayat yang lain “Karena itu akan lebih mempererat tali persahabatan dan lebih menguatkan rasa kasih sayang antar keduanya”.[37]
Tapi tentunya dengan syarat, rasa kasih sayang tersebut karena Allah semata, bukan karena dunia, jabatan, harta, ketenaran, kecantikan atau ketampanan, karena setiap kecintaan yang dasarnya bukan lillahi ta’ala itu bagaikan debu, ia akan lenyap atau malah berbalik menjadi permusuhan kelak pada hari kiamat, sebagaimana firman-Nya: “Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa”.[38]
Hendaknya pula kita selalu menghadirkan dalam sanubari kita sabda Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam: “Setiap orang akan bersama orang yang dicintainya (pada hari kiamat)”.[39]
Intinya mengungkapkan rasa cinta & kasih sayang adalah merupakan cara yang sangat manjur untuk mempengaruhi hati seseorang dan menjadikan timbulnya rasa saling mencintai satu sama lain. Dengan ini akan terbentuklah sebuah masyarakat yang dipenuhi rasa cinta, damai, masyarakat yang bersatu, kompak dan saling membantu.
Ahibbati fillah… dalam soal perasaan, emosi dan ‘atifah, kebanyakan orang berada pada dua kutub yang berlawanan, sungguh amat disayangkan! Ada yang mendewakan akalnya, sehingga hubungan itu menjadi kaku, kering dan tidak bersahabat. Disisi lain ada yang mendewakan perasaan dan emosinya, sehingga seringkali mengorbankan rasionalitas, bahkan tidak jarang sampai pada tingkatan ketergantungan dengan orang lain.
Memang memadukan dan mengkompromikan antara akal dan perasaan adalah pekerjaan yang susah, tidak semua orang bisa menuntaskannya, tapi itu merupakan fadhal (keistimewaan) yang Allah berikan kepada siapa yang dikehendakinya.
9. Al-mudaarooh
Haruskah kita menggunakan metode ini untuk menundukkan hati? Apakah ia sama dengan mudahanah? Apa definisi yang benar dari keduanya?
Dalam menghadapi banyak orang, kita akan menemukan berbagai macam karakter individu yang berbeda, dan tentunya kita harus dapat mensiasati kenyataan ini, kita harus segera mencari cara untuk mengkompromikan karakter-karakter yang berseberangan ini, agar terjalin hubungan yang harmonis antara individu satu dengan yang lainnya.
Keadaan ini menuntut kita untuk memiliki cara bagaimana menghadapi setiap karakter individu yang berbeda, diantaranya adalah dengan mudaarooh, yaitu mengorbankan dunia untuk mendapatkan keuntungan duniawi ataupun ukhrowi ataupun keduanya, seperti berlaku lemah lembut, bertutur secara halus dan menampakkan wajah yang bersahabat kepada para fussaq beserta cs-nya, dengan tujuan, pertama: agar kita terhindar dari gangguan mereka, dan kedua: mungkin dengan mudaarooh seperti ini hati mereka akan terbuka, dan menjadi sebab kembalinya mereka ke jalan yang lurus (tentunya dengan syarat mudaarooh ini bersih dari basa-basi dalam masalah agama).
Sedangkan mudaahanah adalah mengorbankan agama demi mendapatkan keuntungan duniawi[40], misalnya dengan mengobral fatwa-fatwa “murahan” untuk mendapatkan jabatan, agar dekat dengan orang penting, agar mendapatkan harta yang fana, ataupun tujuan yang sejenisnya! nas’alullohas salaamata wal ‘aafiah.
Yang penting untuk diingat di sini adalah bahwa hukum asal dari mudaarooh adalah mubah, ia bisa menjadi mustahab bahkan wajib, namun bisa juga menjadi makruh bahkan menjadi haram! Tergantung timbangan maslahat dan mafsadatnya, baik untuk diri si pelaku ataupun untuk masyarakat yang selalu memperhatikan setiap gerak-gerik seorang dai, jadi sangat diperlukan pertimbangan maslahat dan mafsadah yang matang sebelum kita memperaktekkan langkah ini, wallahu a’lam.
Inilah beberapa contoh akhlak mulia, yang insyaallah akan membantu kesuksesan seorang da’i dalam mengemban misinya membumikan ajaran Ilahi yang mulia ini, semoga kita selalu dalam naungan nikmat, rahmat dan taufiqNya, sehingga kita dapat meraih kesuksesan dunia dan akhirat dalam mengemban amanat besar ini.
وصلى الله وسلم وبارك على عبد الله ورسوله نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين
وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Disarikan dari tulisan syeikh Ad Duwaisy yang berjudul “Thorīqunā ilal qulūb”
[1] Muttafaqun alaih (Bukhari hadits no 12, Muslim hadits no 64)
[2] Mustadrokul Hakim hadits no 4221, dishohihkan oleh Imam Alhakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi, begitu juga syeikh albani (silsilah shohihah hadits no 45)
[3] HR. Attirmidzi hadits no 1941, ia mengatakan hadits ini hasan ghorib, dan dihasankan pula oleh syeikh albani (silsilah shohihah hadits no 791)
[4] HR. Attirmidzi hadits no, ia berkomentar hadits ini hasan shohih, begitu juga syeikh albani meng-hasan-kannya (shohih targhib wat tarhib hadits no 3160)
[5] HR. Attirmidzi hadits no 1927, ia berkomentar hadits ini shohih ghorib, dan di-hasan-kan pula oleh syeikh Albani (silsilah shohihah hadits no 977)
[6] HR. Abu dawud hadits no 4166 dan Attirmidzi hadits no 1925, ia berkomentar hadits ini hasan shohih, di-shohih-kan juga oleh syeikh Albani (shohih targhib wat tarhib hadits no 2641)
[7] Ali Imron ayat 159
[8] HR. Abu Dawud hadits no 4265, di-hasan-kan oleh syeikh Albani (silsilah shohihah hadits no 794)
[9] HR. Muslim hadits no 4632
[10] Seperti misalnya: kitab adabul mufrod karya Imam Bukhori, Makarimul Akhlaq karya Ibnu Abid Dunya, kitab-kitab syama’il yang menceritakan sifat-sifat dan akhlak nabi ع, dll.
[11] HR. Ahmad, hadits no 3632, di-shohih-kan oleh syeikh albani (shohih targhib wat tarhib, hadits no 2657)
[12] HR. Tirmidzi, hadits no 3515, dishohihkan oleh syeikh Albani (misykatul mashobih, hadits no 2471)
[13] HR. Muslim, hadits no 1290
[14] Surat Al-qolam ayat 4
[15] Madarijus Salikin 2/307
[16] Surat Al-An’am ayat 162-163
[17] Muttafaqun alaih, Bukhori hadits no 4024, Muslim hadits no 3310
[18] HR. Bukhori, hadits no 5551
[19] HR. Muslim, hadits no 836
[20] HR. Ahmad, hadits no 12328, dishohihkan oleh Syu’aib al-arna’uth
[21] Nurul Qobas karya abul mahasin al yaghmury, hal 46
[22] Mukhtashor tarikh dimasyq karya Ibnu Mandhur, hal 1884
[23] Surat Al-A’la ayat 14
[24] Surat Asy-Syams ayat 9
[25] HR. Thobaroni fil mu’jamil kabir, hadits no 1763, dihasankan oleh syeikh Albani (silsilah shohihah no 342)
[26] HR. Tirmidzi, hadits no 1879, dihasankan oleh syeikh Albani (silsilah shohihah hadits no 572)
[27] HR. Tirmidzi, hadits no 3574, dishohihkan oleh syeikh Albani (mukhtashorusy syama’il, hadits no 194)
[28] Muttafaqun Alaih (Bukhori hadits no 5613, Muslim hadits no 4643)
[29] Mushonnaf Abdur Rozzaq, atsar no 19442
[30] HR. Bukhori fil adabil mufrod, dihasankan oleh syeikh Albani (Irwa’ul Gholil, hadits no 1601)
[31] Aljami’ li akhlaqir rowi wa adabis sami’, karangan Alkhotib albaghdadi, atsar no 352)
[32] Surat Albaqoroh, ayat 195.
[33] HR. Thobaroni, hadits no 13646, dihasankan oleh syeikh Albani (silsilah shohihah, hadits no 906)
[34] HR. Muslim, hadits no 131.
[35] Shifatush Shofwah 2/340
[36] HR. Ahmad, hadits no 20332 (lihat silsilah shohihah, hadits no 417)
[37] Tambahan hadits ini dihasankan oleh syeikh Albani (shohihul jami’, hadits no 280)
[38] Surat Azzukhruf, ayat 67.
[39] Muttafaqun Alaihi (shohih bukhori, hadits no 5702, shohih muslim, hadits no 4779)
[40] Almufhim karya Alqurthuby 9/338, fathul Bari karya Ibnu Hajar hal: 13/581