loading...

Kisah Fatima Sang Mantan Dugemer

Amerika pasca peristiwa 11 September 2001 diberitakan marak melakukan sweeping terhadap warga-warga muslim yang tinggal di AS. Bahkan, tempat-tempat ibadah kaum muslimin juga menjadi target pengrusakan.

Namun, jauh di luar itu, jumlah muallaf justru semakin meningkat. Kecurigaan warga AS yang begitu besar terhadap warga muslim, menambah rasa penasaran warga AS non muslim terhadap islam. Bahkan terdapat trend yang sedang menjamur di negeri Paman Sam itu. Pasca kejadian tersebut, terjadi kenaikan jumlah wanita AS yang mengenakan hijab-bagitu biasa mereka sebut. Hijab adalah sebuah kain yang digunakan sebagai penutup kepala bagi perempuan muslim (biasa juga disebut khimar atau kerudung).

Fatima Az Zahra adalah satu dari sekian banyak perempuan AS yang menyimpan rasa penasaran yang besar terhadap islam. Ia tinggal di Indianapolis, sebuah negara bagian di Amerika Serikat. Perempuan bermata biru nan ayu ini memiliki hobi nongkrong di diskotik. Rok pendek adalah kesukaannya. Ia senang ngedugem sekaligus memamerkan kemolekan tubuhnya di klub-klub malam.
Sekarang, fenomena di atas tidak akan pernah terlihat lagi. Perempuan itu telah menggunakan gaun panjang yang longgar. Rambutnya yang pirang saat ini telah ditutupi oleh kerudung.

Fatima lahir di Ohio. Ia dan keluarganya kemudian pindah ke Indianapolis. Fatima menganggap Indianapolis sebagai kampung halamannya. Waktu kecil, ibunya memiliki seorang pacar yang tidak bisa menjadi bagian dari keluarganya. Sehingga, Fatima tidak mengetahui siapa ayahnya.

Lalu ibunya bertemu dengan seorang pria lain dan menikah dengannya. Pria itu baik dan mau menerima Fatima sebagai anaknya. Fatima sekarang merasa dekat, baik pada ibunya maupun ayah tirinya.
Fatima kecil biasa dibawa secara rutin ke gereja oleh neneknya. Meski demikian, ia tidak pernah memahami ajaran-ajaran Kristiani. Fatima tidak menyukai misa karena menghabiskan waktu yang lama. Ia juga tidak menyukai khutbah-khutbah para pendeta yang panjang. Fatima menilai khutbah-khutbah itu sulit dicerna dan membosankan. Di bangku gereja, ia lebih senang mencoret-coret buku atau menggambar daripada mendengarkan khutbah pendeta atau berdoa.

"Saya pikir, Anda tidak boleh ragu atau tidak meyakini agama yang Anda peluk. Inilah fakta yang saya alami dengan Kristen yang dulu saya peluk. Saya hanya mengetahui namanya. Yang saya maksud, kekristenan itu apa? Bagaimana pula Tuhan punya anak laki-laki yang juga Tuhan? Bukankah Tuhan itu Esa? Kalau begitu, apakah Tuhan dan anakNya menyatu? Hal-hal ini yang sangat membingungkan saya. Ketika kecil, saya pernah menanyakan itu kepada nenek. Ia hanya bilang, "kamu harus yakin!" Itu saja, tidak ada penjelasan lainnya lagi, "kamu harus yakin seyakin-yakinnya!" Itu yang dikatakan nenek berulang-ulang. Tapi, saya tidak pernah bisa menerimanya. Urai Fatima."

Fatima merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Di usianya yang 20-an tahun ia merasa telah memiliki semuanya, termasuk kehidupan sosialnya yang aktif. Tetapi, ia sungguh merasa miskin secara spiritual dan merasakan kehampaan hidup.

Perkenalannya dengan Islam berawal ketika ia beranjak usia 24 tahun. Suatu ketika, seorang teman kerja Fatima yang keturunan Arab-Amerika, mengundangnya untuk datang ke masjid. Kedatangannya ke masjid untuk pertama kali itu membangkitkan minatnya terhadap islam. Ia mulai mencari tahu banyak hal tentang agama ini.

"Begitu saya mulai membaca buku What Islam is All About. Karya Yahya Emerick. Pertanyaan-pertanyaan yang dari dulu ada dibenak saya sedikit mulai terjawab. Ini salah satu buku tentang Islam yang menjawab semua pertanyaan yang saya ingin ketahui. Setelah membacanya, saya tahu bahwa Islam adalah kebenaran. Saya harus mengikutinya," ungkapnya.

"Sejak itu, saya menjadi lebih religius. Sungguh, sulit dipercaya. Saya menjadi lebih lembut dan lebih baik, lahir maupun batin. Saya punya nilai-nilai serta moral yang tidak pernah dimiliki sebelum menjadi muslimah. Sekarang, saya tidak akan pernah lupa shalat lima waktu." jelasnya lebih lanjut.

Keislaman Fatima tidak mendapatkan jalan mulus. Ibunya tidak bisa memahami tentang keyakinan baru Fatima. Bahkan ibu Fatima pernah merasa sangat gusar ketika melihat anaknya tetap tidak mau mengubah pendiriannya.

Pasca tragedi 911 , hal diluar dugaan terjadi. Ibu Fatima berubah menjadi mendukung sikap anaknya. Ibu Fatima mengatakan bahwa pelaku 911 bukanlah muslim. Karena mereka berprilaku tidak seperti anaknya yang kerap belajar Al Qur'an.

Fatima menikah dengan seorang pria berdarah Libanon. Ia bahagia melihat suaminya yang taat dan memiliki minat yang sama terhadap islam seperti dirinya. Mereka suka melaksanakan sholat berjamaah dan melaksanakan ajaran-ajaran Islam lainnya.

"Benar, keluarga yang melaksanakan sholat berjamaah akan semakin bersatu," ungkapnya. Selain itu, sang suami juga membantu Fatima belajar membaca Al Qur'an. Suami Fatima belajar Al Qur'an selama bertahun-tahun saat bersekolah di Libanon.

Sebagai seorang istri sekaligus ibu muda, ia masih ingin terlihat menarik di depan suaminya. Menurutnya, keseksian sangat baik, tetapi hanya bisa diperlihatkan di rumah dan hanya untuk suami. Soal seks, ia mempunyai pandangan baru. Seks adalah karunia Allah SWT. Kini, ia tidak tertarik lagi untuk tampil seksi di depan laki-laki lain. Ia saat ini lebih taat dengan aturan berbusana islami yang menekankan aspek kesopanan.